Selamat Datang di BLOGER MUH.NASIR JAILANI

Kawin Cerai.....Merusak Generasi

Rabu, 04 September 20130 komentar


indosiar.com, Lombok - Hari semakin beranjak siang. Edi Sucipto dan Maksun Zaelani, sibuk bekerja di sebuah petak sawah milik penduduk. Padahal, teman-teman seusia mereka, di Kecamatan Sakra Timur, Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat , saat itu justru tengah belajar di sekolah.
Begitulah, gambaran kehidupan sebagian anak-anak korban perceraian. Terpaksa kehilangan masa-masa bahagianya, belajar dan bercanda bersama teman-teman sebaya. Akibat perceraian kedua orang tua, buah cinta pun terabaikan. Anak-anak ini harus bertahan hidup sendiri. Bekerja serabutan agar mendapat sesuap nasi, demi bertahan hidup.

Orang tua Maksun Zaelani, akrab dipanggil Cunk, bercerai ketika usianya masih 1 minggu. Sendirian sang ibu membanting tulang, menafkahi anaknya. Namun kian lama, kehidupan ibu dan anak ini makin terpuruk. Dua tahun kemudian terdengar kabar, sang bapak bunuh diri, karena tak kuat menanggung beban hidup. Kepedihan belum usai bagi Cunk. Ketika usianya menginjak 6 tahun, ibunya kembali ke pangkuan Tuhan, akibat sakit yang diderita tak kunjung sembuh.
Sejak menjadi yatim piatu, Cunk diasuh oleh bibinya, Sumiyati. Seorang janda dengan satu anak, yang gagal pula membina rumah tangga sebanyak 6 kali. Hidup bersama bibinya, kehidupan Cunk diwarnai dengan kerja keras, bekerja di sawah atau menjadi kuli panggul.
Cunk sempat bersekolah hingga bangku SMU. Namun sayang, karena tak sanggup mencari biaya sendiri, akhirnya dikeluarkan dari sekolah. Kini Cunk hanya bisa meratapi nasibnya. Cita-citanya membuka usaha bengkel, semakin sulit digapai. Bekerja dan terus bekerja, itulah yang bisa dilakukannya kini, sambil berharap suatu kelak nanti, bisa melanjutkan sekolah lagi.
Begitu pula dengan nasib yang dialami Edi Sucipto, korban perceraian lainnya. Ayah dan ibunya berpisah, ketika dirinya masih berusia 3 setengah bulan. Belum genap 3 bulan bercerai, ibunya menikah lagi. Sadisnya, sang ibu tega menitipkan Edi kepada neneknya yang buta. Hingga akhirnya Edi diasuh oleh sang paman karena iba hati. Dibawah asuhan pamannya yang hidup jauh dari kecukupan, Edi sempat mengenyam bangku sekolah hingga kelas 1 SMP.
Tak tahan ditagih terus oleh pihak sekolah, dan mendengar cemoohan teman-temannya akibat tidak punya uang untuk biaya sekolah, Edi memutuskan berhenti. Sejak bercerai, tidak sekalipun Edi merasakan adanya keinginan bertanggung jawab dari ayah kandungnya. Sedang ibunya, yang kini hidup dengan pria lain dan dikaruniai seorang anak, tak bisa berbuat banyak.
Untuk memenuhi kebutuhannya, selama ini Edi bekerja serabutan. Dari mulai membantu menambal ban, bekerja di sawah hingga menjadi kuli panggul bersama-sama Cunk. Meski Edi tinggal tidak jauh dari rumah ayah kandungnya, ia jarang menemui sang ayah. Pengalaman pahit diusir ayahnya, menyisakan rasa duka yang mendalam. Sang bapak tak mau lagi mengakui Edi sebagai anaknya.
Kisah Edi dan Cunk, hanyalah sepenggal kehidupan anak-anak korban kawin cerai, yang bisa dijumpai dimana saja. Apapun alasannya, perceraian hanyalah menyisakan kepedihan dan penderitaan, terutama bagi anak-anak. Mereka yang tidak pernah minta dilahirkan, akhirnya harus menanggung beban dalam usia dini mereka.
Segment II
Lombok adalah sebuah kawasan yang sungguh indah, namun juga menyimpan segudang masalah. Salah satunya, kebiasaan kawin cerai dan poligami yang secara tidak langsung sesungguhnya menjadi salah satu faktor terpinggirkannya nasib anak-anak dan kaum perempuan Lombok.
Hasil survey yang dilakukan oleh Yayasan Keluarga Sehat Sejahtera Indonesia dan Forum Peduli Kawin Cerai dan Hak Anak (FPKCH), tahun 2001 silam, mengungkapkan, dari 3600 kepala keluarga yang dijadikan sample penelitian, 50 persen lebih melakukan kawin cerai. Pada satu orang, bisa terjadi perkawinan sampai 32 kali. Sedangkan perceraian terjadi antara satu hingga 22 kali. Tak jarang dijumpai pula pemandangan yang cukup ironis. Seorang suami melakukan perkawinan poligami, tinggal satu rumah bersama ke-3 istrinya.
Mastur, adalah salah satu potret pelaku kawin cerai itu. Lelaki paruh baya yang berasal dari Desa Montongtangi, Kecamatan Sakra Timur, Lombok Timur, NTB, ini melakukan kawin cerai hingga 7 kali. Perkawinan dan perceraian yang dilakukannya, semudah membalik telapak tangan. Perkawinannya yang pertama, karena dilakukan dengan paksaan, berakhir dengan perceraian. Padahal baru berjalan 2 bulan. Begitu pula dengan perkawinan ke-2 dan selanjutnya, tak ada yang bisa bertahan lama. Ketika ada persoalan sepele dengan istrinya, cemburu misalnya, maka dapat dipastikan pernikahan itu segera berakhir dengan perceraian.
Dari 7 kali perkawinannya, Mastur, yang sehari-harinya bekerja sebagai petani, dikaruniai 4 orang anak, termasuk Edi Sucipto. Usai perceraian, dengan enteng, Mastur tak memikul tanggung jawab menafkahi anak-anaknya dari istri-istri sebelumnya. Betapa anak kandungnya, Edi harus melalui hidup yang keras akibat tiadanya biaya dan kasih sayang orang tua, sama sekali tak membuat Mastur merasa bersalah. Baginya, perceraian berarti memutus tali hubungan dengan sang istri bahkan juga tanggung jawab terhadap darah dagingnya sendiri. Pada akhirnya, perceraian selalu berakhir dengan penderitaan anak-anak dan perempuan.
Lain lagi dengan kisah yang dialami Sumiyati. Mantan istri ke-6 Mastur ini, kini menjanda. Anak dari buah perkawinannya dengan Mastur, yang baru berusia 6 bulan, diasuh olehnya. Sumiyati, yang pernah kawin cerai sebanyak 6 kali ini pun, tak yakin apa penyebab perceraian yang dialaminya. Yang ia tahu hanyalah jika suami tak menyukainya lagi, maka dirinya akan minta cerai. Dan semudah itu pula, suaminya menceraikannya.
Kawin muda tampaknya menjadi salah satu penyebab mudahnya terjadi perceraian. Di Kecamatan Sakra Timur dan Pringgabaya, Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat ini sudah umum baik bagi lelaki maupun perempuan untuk menikah pertama kali dibawah usia 16 tahun. Biasanya perempuan yang berasal dari keluarga pra sejahtera, menikah untuk menyelesaikan masalah kesulitan ekonomi.
Harapannya, dengan menikah, sang anak tak lagi menjadi beban orang tua. Ironinya, seringkali kawin muda terjadi pada anak-anak perempuan korban perceraian. Karena tak terurus dengan baik, anak-anak perempuan korban perceraian tersebut, mengambil jalan pintas dengan menikah. Dengan harapan ada yang mengurus dirinya. Ditambah lagi adanya anggapan yang beredar luas pada masyrakat Lombok Timur, jika seorang perempuan menikah di atas usia 20 tahun, dianggap perawan tua.
Sedang bagi pihak laki-laki, dengan menikah muda usia, berarti masih memiliki tenaga yang prima untuk mengasuh anak dan kuat bekerja. Faktor lain yang memicu kawin muda, keinginan menyalurkan hasrat seksual yang tinggi.
Namun, menikah di bawah umur, apalagi dengan kehendak yang hanya berdasar pada nafsu birahi dan keinginan lepas dari kesulitan ekonomi, pada akhirnya membuat banyak pasangan muda ini tidak bisa menyikapi secara dewasa, berbagai masalah yang dihadapi dalam rumah tangga mereka. Perceraian menjadi jalan pintas.
Faktor lain yang menjadi pemicu tingginya angka kawin cerai, adanya rasa bangga jika mampu melakukan perkawinan lebih dari satu kali. Kadang untuk mempercepat proses perceraian, suami tidak berlaku adil terhadap istri-istrinya atau melakukan tindakan kekerasan terhadap si istri. Dari mulai menempeleng sampai mengeluarkan caci makian, dan pada akhirnya terjadilah perceraian.
Sengsaranya nasib istri dan anak-anak korban perceraian ini, seringkali akibat perkawinan dilakukan di bawah tangan. Sehingga ketika perceraian terjadi, masing-masing pihak tidak bisa mengelak, bahkan tidak bisa saling menuntut, karena tidak memiliki kekuatan hukum untuk dipertanggung jawabkan. Mantan suami tak punya tanggung jawab menafkahi anak hasil pernikahan. Sedang si istri, sama sekali tak diperkenankan membawa harta benda milik suami, sekalipun itu alat-alat rumah tangga. Akibatnya, kehidupan perempuan dan anak-anak korban perceraian semakin terpuruk.
Tabir kawin cerai di Lombok Timur ini, awalnya sulit diungkap. Namun lambat laun, persoalan kawin cerai tersebut mulai bisa diatasi. Hal ini tak lepas dari kiprah para remaja yang tergabung dalam Forum Peduli Kawin Cerai dan Hak Anak (FPKCH). Mereka bahkan tidak segan mendatangi langsung ke rumah-rumah warga untuk memberi penyuluhan, dengan melibatkan tokoh agama. Jalan lain, dengan membuat pagelaran teater yang masih mendapat tempat di hati masyarakat. Pemerannya adalah anak-anak korban perceraian dan sejumlah remaja desa.
Lambat laun, upaya yang mereka lakukan, mulai membuahkan hasil. dulu, setiap persoalan rumah tangga diselesaikan dengan kekerasan dan perceraian. Kini mereka mulai melibatkan pihak ketiga, dari keluarga maupun tokoh agama. Anak juga mulai dilibatkan. Setidaknya pendapat anak didengar orang tuanya, ketika persoalan muncul.
Bahkan saat ini telah dibuat sebuah aturan desa, yang mengatur proses perkawinan dan usianya, serta proses perceraian. Jika melanggar, akan dikenakan sanksi sosial. Aturan tersebut, dibuat oleh masyarakat setempat, dengan melibatkan tokoh agama. Sebelum diterapkan, aturan tersebut disosialisasikan ke seluruh warga desa. Kemudian disahkan menjadi peraturan desa.
Sementara itu, nasib perempuan dan anak-anak korban perceraian yang terlanjur ada, memang masih menjadi persoalan tersendiri. Sesungguhnya bagi mereka, itu adalah sebuah luka batin yang sulit disembuhkan. Tersia-sia, berupaya hidup di tengah arus kehidupan yang seringkali tidak bersahabat.(Idh)

Silahkan share artikel ini : :

Posting Komentar

 
Web ini dikembangkan oleh Muh Nasir Jailani, SE
Template Created by Creating Website Modify by CaraGampang.Com
Proudly powered by Blogger